Sabtu, 16 Juli 2016
Versi & Revisi Al-Qur'an
VERSI-VERSI AL-QURAN
Sampai di abad 20 M, ada 3 versi terpopuler Al-Quran dari sekian banyak versi, yaitu versi ASHIM, versi NAFI, & versi ABU AMR. Tetapi versi ASHIM "menang" secara politis, dipilih untuk masuk mesin cetak modern di Mesir tahun 1923-1924. Lalu kerajaan Arab Saudi mencetak massal versi ASHIM itu untuk disebarkan ke seluruh dunia.
Kepustakaan:
A.M. Ghazali, L. Assyaukanie, U. Abshar Abdalla, Metodologi Studi Al-Quran (Gramedia Pustaka Utama, 2009).
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Alvabet, 2013).
REVISI AL-QURAN
Sejarah mencatat:
Pemerintah Mesir membentuk komisi untuk penyeragaman versi Al-Quran. Komisi berhasil menerbitkan edisi pertama pada tanggal 10 Juli 1924 (7 Dzul Hijjah 1342). Mereka melakukan REVISI pada edisi berikutnya, yakni akhir tahun 1924 dan juga 1936. Sejak itu, dengan bantuan pemerintah Arab Saudi, edisi Kairo ini disebarkan ke berbagai belahan dunia.
Kepustakaan:
Mun'im Sirry, Kontroversi Islam Awal (Mizan, 2015).
Jumat, 15 Juli 2016
Ciri Kisah-kisah di Al-Qur'an
KEBEBASAN SENI SASTRA DALAM KISAH-KISAH DI AL-QUR'AN
Menurut Muhammad Khalafullah, seorang sarjana Mesir, fenomena "kebebasan seni" sangat banyak ditemukan pada kisah-kisah di al-Qur'an. Hasil pengamatan beliau adalah sebagai berikut:
1. al-Qur'an sering mengesampingkan unsur-unsur penting sebuah peristiwa sejarah. Misal, tidak adanya penyebutan waktu, tempat, & pelaku peristiwa.
2. al-Qur'an sering menonjolkan beberapa potong saja dari suatu peristiwa dan tidak menceritakannya dengan tuntas.
3. al-Qur'an sering tidak memperhatikan urutan waktu & tempat. Tak jarang urutan waktu & tempatnya sangat kontroversial.
4. al-Qur'an sering menceritakan satu kisah dalam dua versi pendeskripsian berbeda. Di satu tempat, kisah tersebut disandarkan kepada para pelaku tertentu, namun di tempat lain para pelaku tersebut diganti dengan pelaku lain.
5. dalam kisah-kisah al-Qur'an yang diulang, sering dijumpai karakteristik atau kondisi jiwa pelakunya berbeda, padahal masih dalam satu kejadian yang sama.
6. kisah-kisah al-Qur'an sering menceritakan kejadian yang tidak pernah terjadi.
Menurut Khalafullah, semua hal di atas ada karena tujuan al-Qur'an bukan untuk membenarkan unsur-unsur sejarah, tetapi bertujuan pokok untuk menyampaikan pesan moral, agama, & kebaikan.
Kepustakaan:
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur'an Bukan Kitab Sejarah (Penerbit Paramadina, 2002).
Menurut Muhammad Khalafullah, seorang sarjana Mesir, fenomena "kebebasan seni" sangat banyak ditemukan pada kisah-kisah di al-Qur'an. Hasil pengamatan beliau adalah sebagai berikut:
1. al-Qur'an sering mengesampingkan unsur-unsur penting sebuah peristiwa sejarah. Misal, tidak adanya penyebutan waktu, tempat, & pelaku peristiwa.
2. al-Qur'an sering menonjolkan beberapa potong saja dari suatu peristiwa dan tidak menceritakannya dengan tuntas.
3. al-Qur'an sering tidak memperhatikan urutan waktu & tempat. Tak jarang urutan waktu & tempatnya sangat kontroversial.
4. al-Qur'an sering menceritakan satu kisah dalam dua versi pendeskripsian berbeda. Di satu tempat, kisah tersebut disandarkan kepada para pelaku tertentu, namun di tempat lain para pelaku tersebut diganti dengan pelaku lain.
5. dalam kisah-kisah al-Qur'an yang diulang, sering dijumpai karakteristik atau kondisi jiwa pelakunya berbeda, padahal masih dalam satu kejadian yang sama.
6. kisah-kisah al-Qur'an sering menceritakan kejadian yang tidak pernah terjadi.
Menurut Khalafullah, semua hal di atas ada karena tujuan al-Qur'an bukan untuk membenarkan unsur-unsur sejarah, tetapi bertujuan pokok untuk menyampaikan pesan moral, agama, & kebaikan.
Kepustakaan:
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur'an Bukan Kitab Sejarah (Penerbit Paramadina, 2002).
Roh Allah Melayang-layang
DEWA MATAHARI, NAGA TIAMAT, & ALLAH
Di Mesir kuno dikisahkan bahwa dewa Matahari lahir dari bukit kecil yang muncul dari samudera raya purba. Di Mesopotamia kuno dikisahkan bahwa pada mulanya naga Tiamat adalah menyatu dengan samudera air asin purba. Masyarakat Asia Barat kuno beranggapan bahwa alam semesta pada mulanya adalah berupa samudera raya. Air yang memenuhi seluruh kosmos. Tentu berbeda dengan pemahaman masa kini bahwa alam semesta dimulai dari Dentuman Raya (Big Bang).
Di Israel kuno, dalam kitab Kejadian ("Beresyit"), dikisahkan, " ... gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air." (Kej.1:2). Allah (Elohim), sesembahan Israel kuno, diasumsikan telah ada. Ia disebutkan bukan "keluar" dari samudera raya itu. Bukan pula "menyatu" dengan air samudera itu. Ia melampaui & berada di atas samudera raya itu, "melayang-layang di atas permukaan air." Demikian tampaknya maksud tersirat dari Kej. 1:2 itu.
Kepustakaan:
Bill T. Arnold & Bryan E. Beyer, Readings from the Ancient Near East (Baker Academic, 2002).
David L. Baker & John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab (BPK Gunung Mulia, 2004).
Arthur Cotterell & Rachel Storm, The Ultimate Encyclopedia of Mythology (Hermes House, 2005).
Leland Ryken, Words of Delight (Baker Book House, 2005).
Di Mesir kuno dikisahkan bahwa dewa Matahari lahir dari bukit kecil yang muncul dari samudera raya purba. Di Mesopotamia kuno dikisahkan bahwa pada mulanya naga Tiamat adalah menyatu dengan samudera air asin purba. Masyarakat Asia Barat kuno beranggapan bahwa alam semesta pada mulanya adalah berupa samudera raya. Air yang memenuhi seluruh kosmos. Tentu berbeda dengan pemahaman masa kini bahwa alam semesta dimulai dari Dentuman Raya (Big Bang).
Di Israel kuno, dalam kitab Kejadian ("Beresyit"), dikisahkan, " ... gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air." (Kej.1:2). Allah (Elohim), sesembahan Israel kuno, diasumsikan telah ada. Ia disebutkan bukan "keluar" dari samudera raya itu. Bukan pula "menyatu" dengan air samudera itu. Ia melampaui & berada di atas samudera raya itu, "melayang-layang di atas permukaan air." Demikian tampaknya maksud tersirat dari Kej. 1:2 itu.
Kepustakaan:
Bill T. Arnold & Bryan E. Beyer, Readings from the Ancient Near East (Baker Academic, 2002).
David L. Baker & John J. Bimson, Mari Mengenal Arkeologi Alkitab (BPK Gunung Mulia, 2004).
Arthur Cotterell & Rachel Storm, The Ultimate Encyclopedia of Mythology (Hermes House, 2005).
Leland Ryken, Words of Delight (Baker Book House, 2005).
Sejak Kapan Yesus Dipuja Sebagai Tuhan?
SEJAK KAPAN YESUS DIPUJA SEBAGAI TUHAN?
Penelitian sejarah memberi petunjuk, bahwa sebelum Paulus muncul sebagai pemuja Yesus, sudah ada komunitas Yahudi "asli" berbahasa Aram yang memuja Yesus sebagai "Tuan" dengan konotasi ilahi (Indonesia, "Tuhan").
Para sejarawan tertarik kepada petunjuk terdini dari tulisan Kristen tertua di abad 1, yaitu surat-surat kiriman dari Paulus kepada komunitas Kristen berbahasa Yunani. Misal, dalam surat 1 Korintus terdeteksi 'kalimat doa' dari komunitas berbahasa Aram. Paulus mengutip sepenggal kalimat doa kepada Yesus dalam bahasa Aram, "Maranata", yang artinya "Tuhan, datanglah", tetapi Paulus tidak menerjemahkannya & tidak menjelaskannya untuk pembacanya yang berbahasa Yunani.
Paulus menulis:
"Dengan tanganku sendiri aku menulis ini: Salam dari Paulus. Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia. Maranata! Anugerah Tuhan Yesus menyertai kamu. Kasihku menyertai kamu sekalian dalam Kristus Yesus." (1 Kor. 16:21-24).
Tampaknya komunitas Kristen berbahasa Yunani telah akrab dengan kalimat doa itu yang mereka tahu berasal dari saudara-saudara mereka yang berbahasa Aram sebelumnya. Dengan menyebut "Maranata", Paulus menyiratkan suatu solidaritas bahwa komunitas Kristen berbahasa Yunani dan komunitas Kristen berbahasa Aram memiliki harapan yang sama kepada Yesus.
Surat-surat Paulus baru mulai ditulis sekitar 20 tahun setelah kematian Yesus, ini berarti kemunculan pemujaan Yesus sebagai Tuhan terjadi tak lama setelah penyaliban Yesus. Pemujaan Yesus itu muncul dari komunitas Yahudi berbahasa Aram yang sangat monoteistik. Hal itu didukung oleh data-data dalam kitab-kitab yang muncul belakangan, yaitu empat kitab Injil & kitab Kisah Para Rasul (Acts). Komunitas berbahasa Aram di abad 1 umumnya berasal dari daerah Galilea, Yudea, & Yerusalem.
Kepustakaan:
Larry W. Hurtado, How on Earth Did Jesus Become a God? (Eerdmans, 2005).
Richard A. Burridge & Graham Gould, Jesus Now and Then (Eerdmans, 2004).
Penelitian sejarah memberi petunjuk, bahwa sebelum Paulus muncul sebagai pemuja Yesus, sudah ada komunitas Yahudi "asli" berbahasa Aram yang memuja Yesus sebagai "Tuan" dengan konotasi ilahi (Indonesia, "Tuhan").
Para sejarawan tertarik kepada petunjuk terdini dari tulisan Kristen tertua di abad 1, yaitu surat-surat kiriman dari Paulus kepada komunitas Kristen berbahasa Yunani. Misal, dalam surat 1 Korintus terdeteksi 'kalimat doa' dari komunitas berbahasa Aram. Paulus mengutip sepenggal kalimat doa kepada Yesus dalam bahasa Aram, "Maranata", yang artinya "Tuhan, datanglah", tetapi Paulus tidak menerjemahkannya & tidak menjelaskannya untuk pembacanya yang berbahasa Yunani.
Paulus menulis:
"Dengan tanganku sendiri aku menulis ini: Salam dari Paulus. Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia. Maranata! Anugerah Tuhan Yesus menyertai kamu. Kasihku menyertai kamu sekalian dalam Kristus Yesus." (1 Kor. 16:21-24).
Tampaknya komunitas Kristen berbahasa Yunani telah akrab dengan kalimat doa itu yang mereka tahu berasal dari saudara-saudara mereka yang berbahasa Aram sebelumnya. Dengan menyebut "Maranata", Paulus menyiratkan suatu solidaritas bahwa komunitas Kristen berbahasa Yunani dan komunitas Kristen berbahasa Aram memiliki harapan yang sama kepada Yesus.
Surat-surat Paulus baru mulai ditulis sekitar 20 tahun setelah kematian Yesus, ini berarti kemunculan pemujaan Yesus sebagai Tuhan terjadi tak lama setelah penyaliban Yesus. Pemujaan Yesus itu muncul dari komunitas Yahudi berbahasa Aram yang sangat monoteistik. Hal itu didukung oleh data-data dalam kitab-kitab yang muncul belakangan, yaitu empat kitab Injil & kitab Kisah Para Rasul (Acts). Komunitas berbahasa Aram di abad 1 umumnya berasal dari daerah Galilea, Yudea, & Yerusalem.
Kepustakaan:
Larry W. Hurtado, How on Earth Did Jesus Become a God? (Eerdmans, 2005).
Richard A. Burridge & Graham Gould, Jesus Now and Then (Eerdmans, 2004).
Langganan:
Postingan (Atom)